Penulis : Tiborius Adii
Pencerita, Alfred Viktor Bobii. Foto: Dok. Pribadi
Bangga sekali jika budaya Papua dipentaskan pada peristiwa perayaan Natal dan Tahun baru setiap tahun di Kota Study di luar Papua (Surabaya, Malang, Semarang, Bali Yogyakarta, Bandung, Bogor, dan Jakarta). Berikut ini makna dan eksistensi budaya Papua serta solidaritas pemerintah, orang tua, yang diceritakan oleh Alfred Viktor Bobii, pelajar SMP Santa Agnes Surabaya, atas pengalaman dan pengamatan perayaan natal, tahun baru, sambil menunjukkan hasil potretannya di kota studi Bandung (26 Desember 2013 s/d 1 Januari 2014).
***
Gagasan perayaan Natal dan Tahun baru bersama mahasiswa Papua di beberapa kota study di luar Papua terkesan memiliki makna tersendiri dalam kerukunan para mahasiswa dan pelajar di sana. Sungguh mengugah hatiku kalau menikmati sebuah acara yang dikemas dalam khas budaya di tanah rantauan.
Para senior terdahulu dekade 1980-an sudah memprediksi pentingnya acara kebersamaan tersebut. Melalui kegiatan ini menyatukan para mahasiswa dan pelajar yang sedang menekuni berbagai displin ilmu. Momentum seperti ini dicetuskan oleh para senior angkatan tahun 1980-an bahkan sebelumnya, entah tahun berapa saya belum tahu persis.
Haru dan tangis, rasanya ingin pulang (ingat) kembali bapak dan mama, sanak saudara di kampung ketika para mahasiswa dan pelajar mementaskan sejumlah atraksi di panggung dengan mengenakan busana adat sejumlah suku yang ada di Tanah Papua. Pasti senior-senior sudah pulang selesai study akan ingat kembali setelah artikel ini dibaca.
Drama kelahiran Yesus Kristus mengawali perayaan Natal dan Tahun baru setiap tahun. Partisipasi para mahasiswa untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut terlihat cukup antusias.
Kebersamaan sebagai mahasiswa, pelajar di rantauan terlihat sejak terbentuknya panitia penyelenggarah hingga selesai. Bahkan dalam tempat pelaksanaan ditentukan awal tahun usai perayaan natal dan tahun baru dilaksanakan. Maka atas kesepakatan bersama menentukan tempat/kota study mana yang ditunjuk sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan, sekaligus mempercayakan panitia pelaksanaan tahun berikutnya. Semisal, perayaan Natal 2013 dan memasuki tahun baru 2014 dipusatkan di kota studi Bandung, dan tahun 2014 dipusatkan di kota Studi Semarang.
Dalam momentum yang bernuansa budaya ini terlihat keakraban yang cukup tinggi. Pasalnya memperlihatkan drama kelahiran Yesus Juruslamat ala budaya-budaya di Papua. Bergantian tak terkecuali kota study menampilkan drama yang sudah disiapkan sebelumnya dari masing-masing kota studi.
Tidak hanya drama, tetapi juga beberapa mata lomba diperlombakan serta seminarkan materi-materi pembinaan spiritual (renungan Alkitab), materi kepemimpinan, dibawakan oleh sejumlah narasumber dari berbagai kalangan akademisi, kalangan gereja yang diundang panitia.
Nilai Eksistensi Budaya Papua di Mata Generasi Muda
Sudah menjadi buah bibir di berbagai kalangan, menceritakan pentingnya pelestarian budaya. Orang tua selalu menasehati pentingnya pelestarian budaya. Nilai budaya perlu ditempatkan pada urutan teratas. Bahkan untuk menggali kembali budaya yang hilang berbagai pertemuan selalu mempersoalkan/mengangkat nilai-nilai.
Menanggapi pentingnya budaya kini pihak gereja serius berbicara tentang budaya. Hal itu dilakukan dengan tujuan mengembalikan tatanan kehidupan manusia Papua pada nilai-nilai adat masa lalu.
Berangkat dari pemahaman di atas, para mahasiswa terus eksis mengembangkan budaya. Tidak serta merta karena perayaan natal dan tahun baru, tetapi inti pelaksanaan dari penampilan drama-drama nuansa budaya mengangkat tradisi (adat) merupakan warisan leluhur. Hal itu terlihat ketika seluruh mahasiswa dan mahasiswi mengenakan busana adat (Koteka, Moge). Tak perduli dengan kondisi kota besar.
Di tengah-tengah modernisasi para mahasiswa-mahasiswi berani mengangkat eksistensinya sebagai budaya yang adalah dasar pijakan hidup menuju masa depan yang cerah.
Sebagai kepedulian terhadap adatnya, hampir semua memiliki busana adat (Koteka, Moge, Ukaa, Mapega), jika datang berlibur di Papua (masing-masing kampung), ataupun hendak ke Jawa melanjutkan studi selalu mereka kantongi sebagai persiapan jika ada kegiatan-kegaiatan adat. Suatu hal yang patut dijempol kepada mahasiswa-mahasiswi di luar Papua mereka menyanyikan lagu-lagu adat sambil memperagakan drama (wani, gowai, ugaa, tupe, dan lain-lain), menandakan bahwa memahami pentingnya memuji Tuhan melalui agama budaya sesuai ajaran Totamana, Toutomana, Toutamana, dan Touyemana.
Solidaritas Pemerintah dan Orang Tua
Salut kepada pemerintah dan orang tua di kampung halaman, bahwa keprihatinan akan pelaksanaan perayaan natal sangat serius. Bantuan pemerintah sering dijawab sekalipun tidak sesuai perincian yang diajukan melalui proposal oleh panitia. Hal itu menunjukkan pemerintah provinsi, kabupaten/kota hendak bersolider untuk mengembangkan tradisi keagamaan di masing-masing kota studi di Jawa-Bali.
Solidaritas orang tua dalam keterlibatan perayaan natal di pulau Jawa lebih berharga. Soalnya, menurut tradisi dalam kalangan suku-suku di Papua, jika Natal tiba pastilah setiap keluarga mengurbankan hewan piaraannya (babi, sapi) sebagai tanda persembahan atas kelahiran Sang Juru Selamat.
Para orang tua merasa tidak lengkap jika dari anggota keluarga yang sedang studi tidak menikmati perayaan Natal bersama sanak saudara di kampung halamannya. Sebagai bukti solidernya orang tua selalu mengirim dana (uang natal) dari hasil usaha persiapan natal, berjualan kayu, pagar, hasil pertanian, peternakan, perikanan mereka, disertai dengan iringan doa agar anak-anak mereka selalu dalam lindungan Tuhan dengan harapan kembali ke Papua setelah menyelesaikan studinya.
Sekalipun saya sudah pindah di SMP ST. Anthonius Nabire, tetapi saya harap kakak-kakak terus meningkatkan hal itu karena sangat penting.
Ditulis oleh Adii Tiborius berdasarkan cerita Alfred Viktor Bobii.
No comments:
Post a Comment