Penulis : Tabita
Penulis : Tabita
Perjuangan melawan ketidakberdayaan dengan pendidikan bukanlah sesuatu yang mudah dan gampang, tetapi perjuangan untuk menjadi asing di kota studi adalah hak mutlak yang ada pada setiap pelaku (pejuang).
Kekawatiran, rasa memiliki, rasa bertanggungjwab, tetapi juga rasa bersalah ketika menjadi yudas di ranah politik, birokrasi, yang menusuk ke sumsum sehingga terus berjuang demi menjaga rona awal itu tetap ada dan terus dinikmati sampai pada anak-anak tanah.
Perjuangan dalam konteks pendidikan yang dirasakan oleh setiap anak bangsa Papua yang menggeluti itu terasa di setiap kelompok, yang melatarbelakangi etnis dan daerah yang berbeda tapi satu tujuan yaitu pendidikan. Pendidikan sebagai jembatan untuk menjembatani setiap keluh kesah dalam ketidakadilan akan pribadi, kelompok yang didesain sebaik mungkin untuk menemukan rasa tenang akan ketidakpuasannya suatu problem.
Banyak problem yang selau datang silih berganti hingga mengikis tujuan awal dari pendidikan. Segala sesuatu yang bergerak dalam suatu konstitusi ini sering tidak terlepas dari apa yang disebut dengan kost, back to money begitulah slogan yang trend dan marak.
Untuk menempuh suatu pendidika bukanlah suatu yang gampang tetapi juga gratis, semua ini perlu suatu dukungan dari biaya, tetapi juga dari diri itu sendiri.
Banyak sanggahan, temuan di lapangan akan eksistensi pendidikan dalam konteks penghambat semangat dikarenakan biaya. Sadar atau tidak sadar inilah yang sebagai universal dan juga sebagai virus psikolog yang dengan mudah dan cepat bergerak mematikan setiap pertahanan semangat.
Kemudian dari pada itu timbul pertanyaan: untuk apa, dan untuk siapa saya berjuang?
Perjuangan yang ideal adalah perjuangan yang tanpa ditopang dengan menyuapkan ini dan itu demi Papua. Tetapi lahir dari rasa memilikinya akan segala kekurangan dan kekayaan akan Papua.
Otonomi Khusus yang adalah sentral bantuan yang diberikan demi terciptanya apa yang diinginkan masyarakt Papua sehingga dikemas dan diatur sesistematis mungkin itu tidak menjaminnya suatu perjuangan akan pendidikan itu.
Secara kasat mata hal ini hanyala suatu senyawa yang diberikan dan tentunya ada reaksi dari senyawa lain karena proses fiksasi. Otonomi Khusus diberikan bukan dilihat dari implementasi suatu harapan masyarakat Papua, tetapi adalah suatu yang diberikan oleh karena suatu tekanan akan tujuan yang mereduksi dari setiap keluh kesah.
Pemberian yang baik bukan dilihat dari balasan ataupun keharusan akan suatu pemberian namun dilihat dari suatu perhatian ingin mendengar. Otonomi Khusus diberikan hanya keterpaksaan saja, bukan dari suatu kerelaan.
Karena di dalam tujuan diberlakukannya itu ada suatu perjanjian akan suatu daerah demi menjaga dan menandatangani suatu pernyataan, yang tentunya di kemudian hari ketika terdapat kesalahan yang sama, maka secara tidak langsung kekuasaan sepenuhnya diatur oleh yang memberi Otonomi Khusus tanpa melihat dan merasa akan sesamanya.
Oleh sebab itu, kalau temuan pincangnya perjalaan Otonomi Khusus bagi Papua yang kurang lebih 13 tahun dan tinggal sedikit ini adalah bagian yang sudah ditanam sejak lahirnya UU Nomor 21 tahun 2001, niscaya akan begini hasilnya. Apa yang ditanam akan dituai sama seperti sekarang ini. Dan apa yang dialami sekarang ini merupakan apa yang dilakukan waktu itu.
Pemuda Kekinian Papua
Pemuda jika dipandang dari fisik adalah alligator yang siap untuk memangsa setiap musuh yang datang dan ingin merampas haknya.
Pemuda Papua dalam era globalisasi ini hilang rasa bertanggungjawab akan dirinya sebagai ciptaan (imagodey) yang sama dan diadakan untuk melakukan tanggung jawab moral, iman kepada Yesus yang adalah sumber dari segalanya.
Pemuda Papua pada masa kekinian bukanlah pemuda berwibawa, berbudi perkerti, cakap, arif, militansi, pahlawan, melainkan pathogen yang sebagai musuh alami yang ingin merusak akan kelompok, komunitas bangsa dari citra budaya akan Papua.
Pemudi Papua tidak lagi menjaga kesuciannya sebagai penerus akan tanah ini, tentunya akan melahirkan anak yang beradat, karena kandungan serta mulut sengaja dinodai dengan kenikmatan duniawi akibat dari rasa kecewa akan kekasih, begitu juga sebaliknya bagi pemuda Papua.
Pemuda yang adalah penerus tongkat estafet kini mati dan tidak berjalan dalam melakukan gebrakan-gebrakan demi terwujudnya suatu tujuan yang jelas dan hasilnya membawa perubahan. Pemuda hanya dilahirkan sebagai pelengkap akan jagat raya dengan begitu dapat dipakai sebagai pelengkap untuk suatu daerah baru.
Banyak pemuda Papua yang merusak harga diri dengan alkohol, HIV/AIDS, sex bebas, dan narkoba sebagai sahabat karib sehidup-semati. Apakah dengan begitu keberadaan Papua ke depan mungkinkah lebih baik atau justru lebih buruk?
Jelas buruk. Sehingga Sodom dan Gemora akan terjadi di tanah yang penuh akan susu dan madu ini karena perilaku demikian.
Keterlibatan pemuda akan pengembangan diri dalam oganisasi kepemudaan, tetapi juga gereja dan masih banyak lagi sangatlah minim, kewajiban akan panggilan akan suatu organisasi kepemudaan tidak serta merta mencari dan menemukan pemuda Papua.
Pemuda Papua harus berjuang dan belajar serta jaga diri untuk masa depan Papua. Semoga!
Tabita Nasadit adalah Mahasiswi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Studi Ilmu Biologi Konsentrasi Lingkungan, Universitas Kristen Tomohon Manado, Sulawesi Utara.
No comments:
Post a Comment