Pages

Search This Blog

Monday, 29 September 2014

Referendum di Skotlandia, Selanjutnya West Papua?

Referendum di Skotlandia, Selanjutnya West Papua?


Tanggal 18 September 2014, referendum bagi Skotlandia akan berlangsung. Rakyat Skotlandia secara damai akan menentukan apakah tetap bergabung dengan Inggris atau memisahkan diri (merdeka) sebagai sebuah negara.

Sejak Indonesia anekasi West Papua tahun 1962, dan merampas hak penentuan nasib sendiri melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, bangsa Papua di teritori West Papua terus menerus menuntut Indonesia agar menyelesaikan persoalan West Papua melalui referendum yang fair, damai dan final.
Mekanisme referendum adalah satu-satunya cara universal yang diakui dan dipakai dalam praktek penentuan nasib sendiri bagi suatu wilayah konflik.
Pemerintah Indonesia, dan berbagai kelompok ultra-nasionalis di Indonesia masih beranggapan bahwa tuntutan referendum adalah separatisme.
Mereka menolak referendum sebagai cara damai dan bermarbat yang harusnya diakui sebagai opsi tengah dari sebuah konflik.
Indonesia barangkali lebih menginginkan orang Papua di atas teritori West Papua terus berdarah atas sebuah tuntutan damai yang ditawarkan.
Referendum di Skotlandia adalah contoh penyelesaian damai yang disepakati dan diakui oleh Pemerintah dan Parlemen Skotlandia.
Sejak Perang Dunia II usai, Inggris sebagai negara kolonial tertua sudah banyak mempraktekkan cara penyelesaian damai di berbagai wilayah jajahannya.
Indonesia sebagai negara kolonial bagi West Papua, sudah semestinya menanggapi tuntutan referendum yang ditawarkan oleh rakyat Papua dengan cara-cara yang damai pula.
Tidak seperti pelaksanaan referendum yang berdarah di Timor Timur (Timor Leste), tidak seperti pelaksanaan Pepera 1969 di Papua yang penuh dengan pemaksaan dan rekayasa dibawah todongan senjara militer Indonesia.
Lord Avebury, anggota Parlemen Tinggi Inggris dalam debat di Parlemen Tinggi Inggris pada tanggal 24 Juli 2014 lalu telah mengajak Indonesia untuk belajar bagaimana Inggris mengadakan referendum di Skotlandia.
“Saya berharap Perdana Menteri mengundang Presiden SBY untuk mengunjungi Inggris pada bulan September tahun depan, sehingga ia dapat melihat bagaimana kita berurusan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri di negeri ini,” kata Lord Avebury.
Hak penentuan nasib sendiri (the right of self-determination) diakui PBB dan anggota PBB, termasuk Indonesia harus tunduk dan menghargainya sebagai kewajiban hukum dalam menanggapi tuntutan referendum di West Papua.
Indonesia tidak harus menggunakan alasan integritas teritorial dalam menolak referendum di Crimea-Ukraina, Kosovo, dan kini Skotlandia sebagai alasan untuk menutupi tuntutan referendum di West Papua.
Sebab, referendum sudah menjadi kebiasaan yang relevan bagi penyelesaian konflik-konflik di dunia. Bila 5,3 juta jiwa penduduk Skotlandia akan memilih secara terbuka dengan mekanisme one man one vote, Indonesia seharusnya malu karena pada Pepera tahun 1969, dari 800.000 jumlah penduduk Papua saat itu, hanya 1.025 orang saja yang dipaksa oleh militer Indonesia untuk memilih bergabung dengan Indonesia.
Sangat salah bila Pemerintah Indonesia masih menolak referendum West Papua dengan alasan integritas teritori Indonesia. Teritori yang mana, dan integritas yang mana?
Sebab, Orang Papua, sebelum Indonesia datang menjajahnya, sudah hidup di atas integritas teritorinya sendiri tanpa Indonesia. Orang Papua menuntut Indonesia kembalikan integritasnya sebagai bangsa Papua, di teritori West Papua yang berhak menentukan nasibnya sendiri.
Perjuangan bangsa Papua untuk merdeka sendiri sudah ada sebelum Indonesia menginjakkan kakinya di atas tanah Papua. Itu adalah tindakan aneksasi (pencurian) hak milik teritori bangsa lain, yaitu bangsa Papua.
Tetapi, sekali lagi, karena Indonesia sudah rekayasa hak penentuan nasib sendiri melalui Pepera 1969, maka bangsa Papua menuntut segera melakukan referendum bagi bangsa Papua yang damai, fair dan final, sama seperti referendum di Skotlandia.
Itulah solusi tengah untuk menghindari korban berdarah yang terus menerus terjadi di atas tanah Papua. Referendum di Skotlandia menjadi pelajaran bagi West Papua, terutama Pemerintah Indonesia untuk segera mengambil praktek penentuan nasib sendiri melalui jalur referendum.
Indonesia dan aparatur negaranya di Papua segera berhenti dalam sandiwara Otsus Plus, Pemekaran, dan sebagainya, karena praksis tidak menyelesaikan persoalan dasar bangsa Papua, yakni hak penentuan nasib sendiri yang belum final.
Indonesia dan West Papua harus mengambil langkah penyelesaian melalui proses hukum dan politik. Proses hukum yakni menyelesaikan hukum tentang aneksasi hingga Pepera 1969 yang jelas-jelas melanggar hukum dan prinsip-prinsip Internasional.
Cara-cara politik dalam penyelesaian West Papua harus mengikuti proses Skotlandia, dimana adanya kemauan politik antara Parlemen Skotlandia dan Pemerintah Inggris.
Di West Papua, orang Papua telah memiliki Parlemen Rakyat sendiri, yakni Parlemen Nasional West Papua (PNWP) sebagai badan Politik perjuangan bangsa Papua. PNWP terdiri dari Parlemen-Parlemen Rakyat Daerah (PRD) di seluruh wilayah West Papua.
PNWP harus melakuan komunikasi politik dengan Pemerintah Indonesia dalam membicarakan tata cara penyelenggaraan hak penentuan nasib sendiri melalui referendum.

Wednesday, 24 September 2014

AT A PROTEST FOR TWO FRENCH JOURNALISTS JAILED IN WEST PAPUA


Protesters call for the release of two French journalists outside the Indonesian consulate 
A face frowned through the glass at a bright banner waving on a fishing rod below the consulate window. 15 years in an Indonesian jail can be the penalty for flying the Morningstar flag, symbol of the West Papuan independence movement. But Jakarta’s little patch of Sydney lay 50 cm away, separated from Australian soil by a stern metal fence. There was nothing they could do.
A tiny pod of protesters had prisons in mind as they gathered on the Maroubra footpath outside the Indonesian consulate yesterday. They held up candles in glass lanterns for two French journalists who have been trapped in a West Papuan jail for more than 40 days. Depending on how things pan out they could face 20 years behind bars.
This reporter helped organise the vigil because Valentine Bourrat, 29, and Thomas Dandois, 40 have little prospect of seeing freedom any time soon unless the Indonesian Government relents and lets them go. The journalists went to the secretive region, annexed by Indonesia in 1969, to make a documentary for Arte TV in France. They wanted to report on the independence movement which began fighting after a disputed vote called the “Act of Free Choice” handed the fertile western half of New Guinea to Jakarta.
The lure of the story is strong for Western media. Some highland tribes have had little contact with the modern world. Remote areas are almost first contact regions.
A demographic genocide has unfurled since Indonesia took over according to the University of Sydney’s Centre for Peace and Conflict Studies, which has reported that migrants outnumber native West Papuans after less than 50 years of occupation. Endangered tribes may vanish before their unique existence is even recorded.
Independence fighters hiding in caves have fought the Indonesian military with bows and arrows, and relic World War II rifles found in the forest. Over the years the military has responded with napalm, cluster bombs and aerial strafing.
Indonesia promises to bring greater economic development to the region which contains the world’s richest goldmine as well as valuable timber and agricultural land. But Jakarta is highly sensitive about any hints that West Papuans aspire to separate and has gone to great lengths to silence independence leaders - including putting an international arrest warrant out for Benny Wenda on bogus accusations of terrorism in 2011. Interpol dropped the red notice after finding it had been politically motivated.
Independence leader Benny Wenda tuning his ukelele at the raising of the Morningstar flag in PNG in December. He was falsely accused of terrorism. Interpol dropped the red notice after finding the allegations were politically motivated.
This sensitivity makes interviewing the armed independence movement, the OPM, an extremely difficult task, not least because of the logistical difficulties of finding them and the expense of getting there.
It is a story coveted by journalists who are proud of their craft and are keen to tell the little-known stories of the region. Indonesia’s supporters have said it is easy to get a foreign journalist’s visa through the right channels, but reporters say that in practice they have found the reverse to be true. Gold Walkley-winning journalist Mark Davis was recently granted a pass to produce a Dateline story for Australian TV station SBS which aired on June 3. But he was openly followed through the streets by Indonesians who filmed him as he went. That kind of attention makes it difficult for reporters to do their jobs because West Papuans can be afraid to tell their stories even when a potential informer isn’t hovering.
Ms Bourrat and Mr Dandois did what others have done before them. They went in on a tourist visa, and they got caught. The usual penalty is to be deported, but Indonesian authorities have instead responded with a severity that has shocked the media industry.
Indonesian police told Fairfax Media reporter Michael Bachelard that the pair were being investigated for criminal subversion after communicating with independence leaders. If they are charged they could face 20 years in prison. The pair could get the maximum five years’ jail for the visa breach alone. The Immigration Office in Papua told Fairfax Media that they want the journalists to get the maximum penalty.
The International Federation of Journalists and the Media Entertainment and Arts Alliance have both called for Ms Bourrat and Mr Dandois to be freed. “MEAA condemns the ongoing detention of the pair and urges Indonesian authorities to free Dandois and Bourrat and drop all charges against them,” the journalist’s union said in a statement.
In New Zealand a lunchtime vigil was held at the central Auckland city church of St Matthews where Vicar Helen Jacobi prayed for the pair. 
A rally was held in Wellington on the steps of Parliament calling on the NZ Government to help the journalists.
In Sydney, supporters held candles at the gates of the Indonesian consulate and gave flowers to passers-by before writing letters of support to send the journalists.
There were more police than protesters there, perhaps because the FaceBook event page registered 100 people as attending. Many without the ability to attend had registered their support from far-away places by clicking they were “going”.
Indonesian President-elect Joko Widodo has said he wants to open up West Papua to foreign media, address corruption and improve human rights across the archipelago. Human Rights Watch researcher Andreas Harsono said he will have to battle forces that don’t want change both in West Papua and in his own coalition. When asked how Australia can help, Mr Harsono said: “criticise”. When the rest of the world makes it clear that violating human rights is not acceptable it helps Jokowi to overcome opposition, he said.
His first test is now laid before him.
The Indonesian Embassy was contacted for a response. Police Attache Mr Nazluddin referred questions to police in Indonesia who have all the details of the case. Mr Nazluddin said that if people want to know how authorities respond in West Papua, then they should go themselves to the region and gather their own information.
Follow Alison on Twitter: @AlisonBevege

Wednesday, 17 September 2014

Seruan Mendesak: Hentikan proses pidana terhadap pengacara Hak Azasi Manusia di Papua

Seruan Mendesak: Hentikan proses pidana terhadap pengacara Hak Azasi Manusia di Papua

Gustaf Kawer (kiri) dan Olga Hamadi (kanan), dua pengacara HAM Papua. 

Internasional Koalisi Papua (ICP) dan TAPOL menulis berita ini sebagai pemberitahuan kepada kita semua tentang kasus investigasi kriminal yang diprakarsai oleh Polda Papua terhadap Gustaf Kawer, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua. Dia telah menerima dua surat panggilan dengan tuduhan pemaksaan dan pemberontakan berdasarkan pasal 211 dan 212 KUHP dalam sistem hukum Indonesia.

Tuduhan pidana terhadap  pengacara Kawer didasarkan atas laporan yang diajukan oleh hakim PTUN yang memeriksa sengketa tanah adat di mana pemiliknya merupakan klien dari Gustaf Kawer. Dalam persidangan tanggal 12 Juni 2014, Tuan Kawer memprotes hakim dan menyatakan keberatan karena  mengabaikan permintaannya agar  sidang ditunda,dengan alasan pengacara Kawer dan klienya tidak bisa hadir saat itu. Akan tetapi hakim Internasional Koalisi Papua (ICP) dan TAPOL menulis berita ini sebagai pemberitahuan kepada kita semua tentang kasus investigasi kriminal yang diprakarsai oleh Polda Papua terhadap Gustaf Kawer, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka di Papua. Dia telah menerima dua surat panggilan dengan tuduhan pemaksaan dan pemberontakan berdasarkan pasal 211 dan 212 KUHP dalam sistem hukum Indonesia.

Tuduhan pidana terhadap  pengacara Kawer didasarkan atas laporan yang diajukan oleh hakim PTUN yang memeriksa sengketa tanah adat di mana pemiliknya merupakan klien dari Gustaf Kawer. Dalam persidangan tanggal 12 Juni 2014, Tuan Kawer memprotes hakim dan menyatakan keberatan karena  mengabaikan permintaannya agar  sidang ditunda,dengan alasan pengacara Kawer dan klienya tidak bisa hadir saat itu.tidak mengubris surat permohonan/permintaan penundaan sidang dan masih tetap melaksakan sidang pada tanggal 12 juni 2014. Oleh karena itu hakim menjatuhkan hukuman pidana karena saudara Kawer dianggap telah melakukan 'bentuk perlawanan dan tidak  menghargai sistem hukum di indonesia.

Gustaf Kawer adalah seorang pengacara independen dari Papua yang telah bekerja dalam berbagai kasus Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2012, Tuan Kawer ditunjuk sebagai pengacara bagi lima tersangka yang di kenal dengan Jayapura 5. Saat itu ia juga mendapat ancaman dari pihak militer. Pada tahun 2013, bersama dengan teman pengacaranya yang bernama Olga Hamadi, Gustaf Kawer terpilih sebagai Pengacara Internasional dan memperoleh Award untuk dedikasinya terhadap hak asasi manusia di Papua.


Kami sangat percaya bahwa investigasi kriminal ini merupakan respon yang berlebihan dan sangat tidak wajar ditujukan kepada Gustaf,dan jelas dirancang untuk mengintimidasi dirinya. Kami percaya bahwa tindakan penyelidikan ini dilakukan untuk menghambat Gustaf melakukan perkerjaanya sebagai pengacara hak asasi manusia di Papua. Kami juga sangat  prihatin dengan adanya investigasi ini, maka pasti akan memiliki dampak memperkecil ruang gerak dalam upaya pembelaan kasus-kasus hak asasi manusia yang terjadi di Papua.

Oleh karena itu kami meminta campur tangan masyrakat luas dalam kasus ini. Yaitu dengan mendesak polisi Indonesia untuk menghentikan penyelidikan pidana terhadap Gustaf Kawer.

Rincian

Gustaf Kawer menerima surat panggilan pada tanggal 22 Agustus 2014 yang menyatakan kaitannya dengan kasus pelanggaran dan tidak mematuhi pasal 211 dan 212 KUHP. Dalam surat panggilan tersebut gagal memberikan keterangan tentang tuduhan yang ditujukan kepadanya.

Panggilan kedua menjelaskan bahwa Gustaf Kawer telah dilaporkan oleh seorang hakim PTUN bernama Warisman Sotaronggal. Laporan itu mengenai protes Kawer terhadap para hakim dalam sidang pada sengketa tanah adat melawan pemerintah, yang diadakan pada tanggal 12 Juni, 2014.

Dia protes karena hakim mengabaikan permintaannya untuk penundaan sidang dan tetap melaksanakan sidang tanpa kehadirannya. Akhirnya ia diminta untuk meninggalkan ruang sidang. Saat ia pergi, ia melihat bahwa seorang perwira polisi merekam insiden tersebut.

Instrumen nasional dan internasional

Pasal 211 dan 212 KUHP di Indonesia digunakan oleh pihak kepolisian untuk menjerat semua masyarakat yang melawan petugas negara menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan. Keputusan polisi menggunakan kedua pasal itu untuk melakukan penyelidikan terhadap Gustaf Kawer karenanya sangatlah tidak masuk akal, karena belum ada kekerasan yang dilakukan atau ancaman yang ditimbulkan oleh Gustaf Kawer selama proses persidangan tanggal 12 Juni 2014.

Selain itu, UU Advokat Indonesia Nomor 18/2003 menetapkan bahwa advokat hukum tidak akan dikenakan tindakan pidana atau perdata dalam kaitannya dengan kinerja itikad baik tugas profesionalnya dalam membela klien di pengadilan. Ketentuan ini baru-baru ini ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 26 / PUU-XI / 2013.

Beberapa instrumen HAM

Dunia internasional juga secara eksplisit telah menyerukan negara-negara untuk memberikan perlindungan bagi pengacara dan pembela hak asasi manusia. Berbagai artikel Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang Peran Pengacara. untuk memastikan bahwa pengacara 'dapat melakukan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi, halangan, pelecehan atau gangguan yang tidak benar' dan 'memperoleh kebebasan, baik sipil dan pidana untuk laporan yang relevan dibuat dengan itikad baik dalam pembelaan tertulis atau lisan. Ataupun dalam penampilan profesional mereka di depan pengadilan, otoritas hukum atau administratif hukum lainya.

Pasal 12 (2) dari Deklarasi PBB tentang Pembela Hak Asasi Manusia juga jelas menyerukan negara-negara untuk 'mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menjamin perlindungan oleh pejabat yang berwenang dari setiap orang, secara individu dan dalam hubungannya dengan orang lain, menentang kekerasan apapun, ancaman, pembalasan, de facto atau de jure diskriminasi yang merugikan, tekanan atau tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari latihan yang sah nya hak sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi ini '.

Petisi

Kami prihatin tentang keselamatan Gustaf Kawer, dan dampak yang lebih luas dari intimidasi dan investigasi terhadap dirinya. Silakan menulis kepada pihak berwenang yang tercantum di bawah ini.
  • Mendesak dan menjamin keamanan juga melindungi pengacara HAM Gustaf Kawer.
  • Mengakhiri intimidasi terhadap Gustaf Kawer
  • Menginvestigasi percobaan kriminalisasi terhadap dirinya
  • Perlindungan terhadap pejuang HAM Papua
Jangan ragu untuk menghubungi kami jika Anda memerlukan informasi lebih lanjut.
Hormat saya,
The International Coalition for Papua, Germany
TAPOL, United Kingdom
Urgent Action Targets
Gen. Sutarman
Chief of the Indonesian National Police
Jl. Trunojoyo No. 3
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110
INDONESIA
Tel: +62 21 384 8537, 726 0306
Fax: +62 21 720 7277
E-mail: 
humas.pmj@gmail.com
Mr Yotje Mende
Chief of the Papua Regional Police
Jl. Samratulangi No. 8 Jayapura
INDONESIA
Tel: + 62 0967 531014
Fax: +62 0967 533763
Dr. H. Muhammad Hatta Ali
Chief Justice of the Indonesian Supreme Court
Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13
INDONESIA
Tel: +62 21 384 3348
Fax: +62 21 381 0356
E-mail: 
info@ma-ri.go.id
Mr Suparman Marzuki
Chairperson of the Judicial Commission
Jl. Kramat Raya No. 57
Jakarta Pusat
INDONESIA
Tel: +62 21 390 5876
Fax: +62 21 390 6215
Mr Hafids Abbas
National Human Rights Commission
Jl. Latuharhary No. 4-B
Jakarta 10310
INDONESIA
Tel: +62 21 392 5230
Fax:  +62 21 392 5227
Mr Ismail Baturante
Chairperson
Makassar High Administrative Court
Jl. A.P Pettarani No. 45
Makassar, 90231
INDONESIA
Tel. +62 411 420679, 452016
Fax. +62 411 452016
Website : 
www.pttun-makassar.go.id
Email : 
pttun.makassar@gmail.com,  pt.makassar@ptun.org
Mr Sudiwardono
Jayapura High Court
Jl. Tanjung Ria No. 98, Base'G
Jayapura, Papua
INDONESIA
Tel: +62 967 541248
Fax: +62 967 541045
Mr Kasim, SH, MH
Chairman of the Administrative Court of Jayapura
Jalan Raya Sentani – Waena
Jayapura 99358
INDONESIA
Tel-fax: +62 967 571639 / 571216
cc :
Dr. Otto Hasibuan, SH., MM
Chair of the Indonesian Bar Association (PERADI)
Grand Slipi Tower, Lantai 11
Jl. S.Parman Kav. 22-24
Jakarta Barat 11480
INDONESIA
Tel: +62 21 2594 5192  / +62 21 2594 5193  / +62 21 2594 5195 / +62 21 2594 5196
Fax: +62 21 2594 5173
Budi Setyanto, S.H.
Chair of the Jayapura branch of the Indonesian Bar Association (PERADI)
Jl. Karang N0. 8, Kel. Waena, Distrik Seram Kota
Jayapura, Papua
INDONESIA
Tel/Fax: +62 967 573970
E.S. Maruli Hutagalung, SH. MH
Head of the Papua High Prosecutor’s Office
Kepala Kejaksaan Tinggi Papua di Jayapura
 Jl. Anggrek No.6 Tanjung Ria
Jayapura, Papua
INDONESIA
Tel +62 967 542764 / 541130 


Mengutuk represi & penyiksaan oleh aparat polres Jayapura pada 2 April 2014

Mengutuk represi & penyiksaan oleh aparat polres Jayapura pada 2 April 2014

Laporan pantauan lapangan koresponden NAPAS terkait aksi solidaritas untuk pembebasan TAPOL/NAPOL di Jayapura, Papua.

Jayapura, 03/04/2014

Persiapan

Pada hari Jumat 28 Maret 2014, sekitar pukul 10.20 WP (Waktu Papua), Yali Wenda (20), Mahasiswa Fisip Universitas Cendrawasih (UNCEN) dan juga anggota Solidaritas Mahasiswa Peduli Tapol (Tahanan Politik) Papua mengantar surat pemberitahuan aksi damai pembebasanTapol/Napol, yang rencananya akan dilakukan pada 2 April 2014, kepada Polres Kota (Polresta) Jayapura. Kemudian pihak Polresta memberitahu agar kembali untuk kembali mengecek suratnya empat hari kemudian.

Empat hari kemudian, tepatnya Selasa 1 April 2014, sekitar pukul 11.00 WP, Philipus Robaha anggota Solidaritas Mahasiswa Tapol/Napol) pergi ke kantor Polresta untuk mengecek surat pemberitahuan aksi yang telah dimasukannya. Pihak Intelkam meminta Philipus untuk menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa aksi yang akan digelar adalah aksi damai. Surat pernyataan itu sebagai syarat untuk mendapatkan surat tanda terima pemberitahuan (STTP) dari Kepolisian. STTP tidak diberikan saat dia (Philipus)  menadatangani surat tersebut dan dijanjikan akan diberikan besok harinya sebelum aksi digelar.
Surat pernyataan yang diminta Polresta Jayapura pada 1 Paril 2014.





  • Alfares Kapisa, umur 24 tahun, Mahasiswa Kedokteran Universitas Cendrawasih, dalam aksi berperan sebagai Koordinator Lapangan. Saat ditangkap dia dipukul dengan popor senjata di bagian mata kiri dan di kepala serta menendang dengan sepatu laras di bagian bahu dan tulang belang.
  • Yali Wenda, umur 21 Thn, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Uncen, dalam aksi berperan seksi acara dan orator, Saat ditangkap ditentang dengan sepatu laras perut bagaian kiri, kepala, di dagu (dagu membenkak dan tidak bisa makan selama 2 hari) dan luka-luka di telingan mendapat 3 jahitan dan dipukul di kepala dan belakang. Distrom bagian belakang saat berada dalam mobil truk sampai tiba di Polresta Jayapura.





  • Yali Wenda dan Alvares Kapissa (Jubi/Aprila)
    Proses Aksi

    Mahasiswa Papua yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Peduli Tapol/Napol Papua menggelar aksi di depan Kampus Universitas Cendrawasih di Waena dan Abepura, sekitar pukul 08.00 WP. Massa aksi memalang pintu pagar Kampus Uncen Waena sambil menyampaikan orasi-orasi. Tidak lama kemudian, Aparat Kepolisian dari Dalmas Polresta dan Brimob Polda Papua tiba di tempat aksi dengan menggunakan 6 buah truk Kepolisian (3 truk polisi dalmas dan 3 lainnya brimob). Aparat Kepolisian turun dari truk dan langsung memblokade jalan.

    Sekitar pukul 10.15 WP, Massa aksi bersepakat untuk bergabung dengan teman-temanya yang berada di Kampus Uncen Abeprura. Dan mereka sepakat untuk berjalan kaki (long march) dari Kampus Uncen Waena ke Kampus Uncen Abepura. Rencana long march itu dihadang pihak kepolisian.

    Ketika kordinator lapangan berupaya berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk membuka blokade agar mahasiswa bisa long march, aparat Kepolisian mengeluarkan tembakan senjata dan menangkap 2 orang mahasiswa dan membubarkan aksi secara paksa dengan cara menembaki para mahasiswa dengan senjata dan melempar gas air mata. Aksi adu mulut antar kedua pihak terjadi dan pihak kepolisian memaki massa aksi dengan kata-kata kasar seperti “mahasiswa monyet”. Mahasiswa pun marah dan balik melempar batu ke arah polisi.  

    Aksi saling lempar batu antar kedua pihak terjadi selama 5 menit. Mahasiswa lari masuk ke areal kampus  dan Aparat Kepolisian pun masuk mengejar ke areal kampus serta berhasil membubarkan massa aksi. Massa aksi yang berhasil dibubarkan di Waena kembali bergabung dengan teman-temannya yang sedang aksi pembebasan 76 tahanan politik Papua. Aksi di Uncen Abepura dilakukan dalam bentuk mimbar bebas di halaman kampus Uncen Abepura.

    Aksi mimbar bebas itu berakhir sekitar pukul 15.30 WP, setelah Koordinator aksi membacakan pernyataan sikapnya. Dalam pernyataan itu, para mahasiswa mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk membebaskan 76 Tahanan Politik yang mendekam Negara Indonesia. Selain itu mereka meminta pembuka ruang demokrasi dan akses jurnalis, peneliti dan pemantau PBB ke Papua barat.

    Jumlah Korban pengkapan dan bentuk intimidasi serta barang-barang yang dirusak

    Korban pengkapan dan penyiksaan
     Barang yang di rusak
    4 Buah motor milik mahasiswa dirusak aparat kepolisian.

    Pelaku

    Polisi Dalmas Polresta Jayapura dan Brimob Polda Papua
    Demikian laporan pemantauan aksi ini dibuat. Dan atas perhatian dan kerja samanya, kami menyampaikan terimakasih.
     Lampiran surat pemberitahuan aksi
    SOLIDARITAS MAHASISWA PEDULI TAPOL/ NAPOL PAPUA
     


    No                   :  01/SMPTN-PAPUA/JPR-PAPUA/2014
    Lampiran         : 
    Perihal             : PEMBERITAHUAN AKSI SOLIDARITAS MAHASISWA PEDULI  TAPOL/ NAPOL PAPUA
    KepadaYth.,
    Kapolres Jayapura
    Di –
    Tempat
    DenganHormat,
    Bersama ini kami beritahukan kepada KapolresJayapurabahwa kami Memberitahu Aksi SOLIDARITAS MAHASISWA PEDULI TAPOL/NAPOL PAPUA PAPUA akan melaksanakan Aksi Demonstrasi Damai/ MIMBAR BEBAS dalam rangka menyikapi. masih banyaknya TAPOL/NAPOL papua yang di tangkap tanpa ada remisi dan kurang adanya perhatian serius bagi TAPOL/NAPOL PAPUA di SEMUA PENJARA yang ada di PAPUA. Ini adalah bentuk Aksi MIMBAR BEBAS Di  tempat.  MIMBAR damai ini akan di  laksanakan pada hari Rabu 2 April 2014. jam 7:30 WIT sampai selesai, Bertempat di KAMPUS UNCEN BAWAH ,KAMPUS UNCEN ATAS DAN MERPATI.

    Untuk sepengetahuan Kapolres Jayapura selaku Kepala Kepolisian Resort Jayapura Tentang PerangkatAksi MIMBAR Damai, Antara Lain:
    KoordinatorUmum   :
    1.      Alfa Rohrohmana
    Koordinatorlapangan           :
    1.      Alfa Rohrohmana
    2.      Donatus Pombai
    3.      AlfarisKapisa
    4.      Samuel Womsiwor
    5.      Philipus robaha
    6.      Beny hisage
    Negosiator                 :
    1.      Christian C. P.
    2.      Alfa Rohromana
    3.      Philipus Robaha
    4.      Hendrik Horota
    Koordinator Keamanan
    1.      Wanus Hindom
    2.      Gipson Gwasgwas
    3.      Samuel Tanggareri
    4.      FeliksTebai
    DinamisatorLapangan(DinLap)      :
    1.      Pilemon Neretouw
    2.      Yusuf Taran
    Orator/Pembicara
    1.      Yali Wenda (Sie. Acara)
    2.      Mahasiswa
    Bentukaksi         : Orasi/MimbarTerbuka
    Titikkumpul        :Perumnas III Waena,Uncen Bawah, Merpati,
    Hari/tanggal      :Rabu 2 april 2014
    Tujuan Aksi        : AKSI DI TEMPAT KEPADA PEMERINTAH JAKARTA
    Jumlah massa     : 100 Orang dari berbagai Kampus Masyarakat di Jayapura
    Alat Peraga         : 1 Buah Mobil Komando, 5 Spanduk buah, 50 Buah pamphlet (Sesuai isi surat), 4 Buah Megaphone.
    Demikian pemberitahuan ini dibuat dengan sebenar-benarnnya, kiranya adaruang demokrasi yang aman bagi rakyat Papua Pewaris Tunggal Tanah Papua dan kerjasama yang baik antar kita di ucapkan banyak terimakasih.
    Yang Bertanda Tangan
    Di Bawah Ini
    SOLIDARITAS MAHASISWA PEDULI TAPOL NAPOL PAPUA
    ALFA ROHROHMANA

    PENANGGUNG JAWAB /KOORDINATOR

    NAPAS untuk aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua

    Rilis NAPAS untuk aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua

    Kita butuh pemerintahan dan legislatif baru yang berani menjamin kebebasan berekspresi dan membebaskan tahanan politik di Papua
    Setelah 15 tahun, hampir 16 tahun, reformasi Indonesia, yang pernah membebaskan tahanan politik di masa Orde Baru, orang-orang Papua yang menjadi tahanan politik justru bertambah. Ditengah hiruk pikuk pemilu 2014 di Indonesia, represi terus meningkat di Papua sehingga menambah banyak orang-orang yang ditahan atas dasar motivasi politik. Tidak adanya ruang berekspresi dan beraspirasi secara bebas di Papua, serta penambahan jumlah tahanan politik tersebut, belum satupun menjadi perhatian para calon legislatif dan calon-calon presiden dalam pemilu 2014.

    Saat ini sebanyak 76 orang-orang Papua menjadi tahanan politik di berbagai penjara Papua*. Dalam waktu hanya setahun, sejak April 2013, website orang-orang Papua di balik jeruji telah mencatat penambahan tahanan politik di Papua sebanyak dua kali lipat. Per 31 Maret 2013 sebanyak 40 orang tahanan politik ada dalam penjara Manokwari, Sarmi, Timika, Serui, Abepura, Biak, Wamena, dan Nabire. Per Februari 2014 setidaknya bertambah sebanyak 36 tahanan politik, yang tersebar di berbagai lokasi tahanan kepolisian seperti di Yapen, Jayapura, Puncak Jaya, Polda Papua, dan Sarmi, selain di tempat-tempat yang sama dimana tahanan politik sebelumnya berada.

    Hentikan stigma, perbaiki layanan, dan tegakkan HAM

    Rakyat Indonesia dan semua lembaga yang mau membuka hati dan pikirannya perlu mengetahui keberadaan tapol, sejarah tapol-napol Papua, yang disiksa, ditolak akses terhadap pendampingan hukum, dipaksa untuk mengaku, dan segala macam bentuk pelanggaran HAM lainnya. Keberadaan para tahanan politik ini tidaklah mesti diingkari seperti pernyataan Menkopolkam Indonesia, Djoko Suyanto bahwa yang ada dalam tahanan di Papua hanyalah para pelaku tindak pidana yang menjalani pembinaan.

    Pada diskusi yang diselenggarakan NAPAS terkait keberadaan dan situasi Tapol di Papua, tahun lalu, Dirjen Lapas Kemenkumham, melalui biro komunikasinya Akbar Hadi, menyatakan bahwa pihak Lapas di Papua memiliki prosedur memadai dalam memperlakukan para tahanan. Menurutnya, mereka tidak kenal istilah kategori tapol dan yang lainnya, dan hanya berkewajiban memberi layanan memadai. Namun Akbar Hadi juga mengakui bahwa layanan kesehatan adalah persoalan paling serius di Lapas karena kurangnya dana.

    Memang alasan yang klise karena kita tahu dana yang mengalir melalui otsus ataupun UP4B seharusnya bisa dipergunakan untuk memperbaiki layanan. Masalahnya ada pada stigma separatis yang terus dicitrakan oleh pemerintah Indonesia sehingga memperburuk situasi dan kondisi tahanan politik di Papua. Seperti ada kesengajaan membiarkan tahanan politik ini sakit-sakitan, bahkan meninggal tanpa pengobatan.

    Sebetulnya pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No.12/2005, termasuk pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5/1998. Namun seluruh kasus makar yang diproses lewat lembaga pengadilan Negara di Papua, tetap saja menggunakan KUHP Nomor 107 dan Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1951 yang bernuansa pidana. Status para tersangka, maupun mereka yang menjalani masa hukuman di penjara dalam kasus-kasus makar, tak ada bedanya dengan para narapidana lain yang melakukan tindak kriminal lainnya seperti pencurian, pemerkosaan dan lain sebagainya.

    Ubah pendekatan

    Sudah terbukti bahwa kebijakan apapun yang diputuskan oleh pemerintah pusat di Jakarta dan di Papua tidak menyelesaikan persoalan kemanusiaan di Papua selama pendekatannya tidak diubah. Pendekatan  yang terus dipertahankan saat ini adalah represi dan anti dialog. Ruang demokrasi untuk berkumpul dan menyatakan pendapat tidak diberikan, bahkan akses untuk pemberitaan dan pemantauan internasional juga dihambat.

    Bila pendekatan seperti ini terus yang dipertahankan, maka akan semakin banyak jatuh korban, semakin tinggi angka pelanggaran HAM dan semakin sulit meyakinkan rakyat Papua untuk percaya pada pemerintahan di Indonesia. Sesungguhnya pendekatan seperti inilah yang membuat semakin berkembang kehendak rakyat Papua, khususnya yang merasakan langsung penindasan ini, untuk memisahkan diri.

    Tekanan internasional

    Dalam hearing dengan Sub Komite HAM Parlemen Eropa, 23 Januari 2014, NAPAS menghimbau dihadapan duta besar Indonesia untuk Uni Eropa agar pemerintah Indonesia mengakui bahwa keadaan HAM di Papua sangat serius. Keberadaan Tapol, tidak adanya kebebasan berkumpul dan berekspresi serta pembatasan akses jurnalis adalah indikator utama.

    Sebanyak 16 anggota Parlemen Eropa membuat pernyataan sikap dan rekomendasi kepada CATHERINE ASHTON, pejabat yang bertanggung jawab atas Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, terkait kemendesakan situasi di Papua. Salah satu rekomendasinya terkait keberadaan tahanan politik adalah: menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan semua tahanan politik dan menghentikan penangkapan terhadap orang-orang yang melakukan aktivitas politik damai dengan tuduhan kriminal seperti pasal makar 106 dalam KUHP.

    Tapol Inggris, suatu lembaga yang mendukung demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia menyerukan aksi solidaritas serentak internasional menuntut pembebasan Tapol Papua. Aksi dilakukan tanggal 2 April bersama-sama dengan Amnesty International UK, Survival Internasional dan Free West Papua Campaign di depan Kedubes Indonesia. London Inggris. Napas mendukung seruan ini dengan melakukan dialog dengan Palang Merah Internasional (ICRC) wilayah Indonesia dan Yimor Leste di waktu yang sama. 

    Jika kita menghendaki perubahan yang lebih baik di Indonesia, maka wajah Papua harus dibersihkan dari duka, dendam, darah dan air mata. Apa lagi yang kita tunggu? Saatnya semua pihak yang pro perubahan, dan para politisi serta aktivis yang hendak mencalokan diri menjadi anggota legislatif dan presiden, memasukkan agenda ini ke dalam cakrawala pikiran dan program perjuangan mereka:
    • Membebaskan semua tahanan politik yang berada di penjara-penjara di Papua serta membuka kembali peluang upaya dialog damai dengan rakyat Papua.
    • Menjamin hak-hak tapol, napol terhadap akses kesehatan dan pelayanan hukum.

    Jakarta, 2 April 2014

    National Papua Solidarity (NAPAS)
    Zely Ariane
    Koordinator

    Aksi NAPAS 16 Mei 2013 di depan istana negara


    *Lihat update tahanan politik Papua bulan Februari 2014 di papuabehindbars.org

    Popular Posts

    Papua Press Agency