Pages

Search This Blog

Wednesday, 17 September 2014

NAPAS untuk aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua

Rilis NAPAS untuk aksi serentak internasional 2 April menuntut pembebasan Tapol Papua

Kita butuh pemerintahan dan legislatif baru yang berani menjamin kebebasan berekspresi dan membebaskan tahanan politik di Papua
Setelah 15 tahun, hampir 16 tahun, reformasi Indonesia, yang pernah membebaskan tahanan politik di masa Orde Baru, orang-orang Papua yang menjadi tahanan politik justru bertambah. Ditengah hiruk pikuk pemilu 2014 di Indonesia, represi terus meningkat di Papua sehingga menambah banyak orang-orang yang ditahan atas dasar motivasi politik. Tidak adanya ruang berekspresi dan beraspirasi secara bebas di Papua, serta penambahan jumlah tahanan politik tersebut, belum satupun menjadi perhatian para calon legislatif dan calon-calon presiden dalam pemilu 2014.

Saat ini sebanyak 76 orang-orang Papua menjadi tahanan politik di berbagai penjara Papua*. Dalam waktu hanya setahun, sejak April 2013, website orang-orang Papua di balik jeruji telah mencatat penambahan tahanan politik di Papua sebanyak dua kali lipat. Per 31 Maret 2013 sebanyak 40 orang tahanan politik ada dalam penjara Manokwari, Sarmi, Timika, Serui, Abepura, Biak, Wamena, dan Nabire. Per Februari 2014 setidaknya bertambah sebanyak 36 tahanan politik, yang tersebar di berbagai lokasi tahanan kepolisian seperti di Yapen, Jayapura, Puncak Jaya, Polda Papua, dan Sarmi, selain di tempat-tempat yang sama dimana tahanan politik sebelumnya berada.

Hentikan stigma, perbaiki layanan, dan tegakkan HAM

Rakyat Indonesia dan semua lembaga yang mau membuka hati dan pikirannya perlu mengetahui keberadaan tapol, sejarah tapol-napol Papua, yang disiksa, ditolak akses terhadap pendampingan hukum, dipaksa untuk mengaku, dan segala macam bentuk pelanggaran HAM lainnya. Keberadaan para tahanan politik ini tidaklah mesti diingkari seperti pernyataan Menkopolkam Indonesia, Djoko Suyanto bahwa yang ada dalam tahanan di Papua hanyalah para pelaku tindak pidana yang menjalani pembinaan.

Pada diskusi yang diselenggarakan NAPAS terkait keberadaan dan situasi Tapol di Papua, tahun lalu, Dirjen Lapas Kemenkumham, melalui biro komunikasinya Akbar Hadi, menyatakan bahwa pihak Lapas di Papua memiliki prosedur memadai dalam memperlakukan para tahanan. Menurutnya, mereka tidak kenal istilah kategori tapol dan yang lainnya, dan hanya berkewajiban memberi layanan memadai. Namun Akbar Hadi juga mengakui bahwa layanan kesehatan adalah persoalan paling serius di Lapas karena kurangnya dana.

Memang alasan yang klise karena kita tahu dana yang mengalir melalui otsus ataupun UP4B seharusnya bisa dipergunakan untuk memperbaiki layanan. Masalahnya ada pada stigma separatis yang terus dicitrakan oleh pemerintah Indonesia sehingga memperburuk situasi dan kondisi tahanan politik di Papua. Seperti ada kesengajaan membiarkan tahanan politik ini sakit-sakitan, bahkan meninggal tanpa pengobatan.

Sebetulnya pemerintah Indonesia sudah mengesahkan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No.12/2005, termasuk pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU No. 5/1998. Namun seluruh kasus makar yang diproses lewat lembaga pengadilan Negara di Papua, tetap saja menggunakan KUHP Nomor 107 dan Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1951 yang bernuansa pidana. Status para tersangka, maupun mereka yang menjalani masa hukuman di penjara dalam kasus-kasus makar, tak ada bedanya dengan para narapidana lain yang melakukan tindak kriminal lainnya seperti pencurian, pemerkosaan dan lain sebagainya.

Ubah pendekatan

Sudah terbukti bahwa kebijakan apapun yang diputuskan oleh pemerintah pusat di Jakarta dan di Papua tidak menyelesaikan persoalan kemanusiaan di Papua selama pendekatannya tidak diubah. Pendekatan  yang terus dipertahankan saat ini adalah represi dan anti dialog. Ruang demokrasi untuk berkumpul dan menyatakan pendapat tidak diberikan, bahkan akses untuk pemberitaan dan pemantauan internasional juga dihambat.

Bila pendekatan seperti ini terus yang dipertahankan, maka akan semakin banyak jatuh korban, semakin tinggi angka pelanggaran HAM dan semakin sulit meyakinkan rakyat Papua untuk percaya pada pemerintahan di Indonesia. Sesungguhnya pendekatan seperti inilah yang membuat semakin berkembang kehendak rakyat Papua, khususnya yang merasakan langsung penindasan ini, untuk memisahkan diri.

Tekanan internasional

Dalam hearing dengan Sub Komite HAM Parlemen Eropa, 23 Januari 2014, NAPAS menghimbau dihadapan duta besar Indonesia untuk Uni Eropa agar pemerintah Indonesia mengakui bahwa keadaan HAM di Papua sangat serius. Keberadaan Tapol, tidak adanya kebebasan berkumpul dan berekspresi serta pembatasan akses jurnalis adalah indikator utama.

Sebanyak 16 anggota Parlemen Eropa membuat pernyataan sikap dan rekomendasi kepada CATHERINE ASHTON, pejabat yang bertanggung jawab atas Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa, terkait kemendesakan situasi di Papua. Salah satu rekomendasinya terkait keberadaan tahanan politik adalah: menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan semua tahanan politik dan menghentikan penangkapan terhadap orang-orang yang melakukan aktivitas politik damai dengan tuduhan kriminal seperti pasal makar 106 dalam KUHP.

Tapol Inggris, suatu lembaga yang mendukung demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia menyerukan aksi solidaritas serentak internasional menuntut pembebasan Tapol Papua. Aksi dilakukan tanggal 2 April bersama-sama dengan Amnesty International UK, Survival Internasional dan Free West Papua Campaign di depan Kedubes Indonesia. London Inggris. Napas mendukung seruan ini dengan melakukan dialog dengan Palang Merah Internasional (ICRC) wilayah Indonesia dan Yimor Leste di waktu yang sama. 

Jika kita menghendaki perubahan yang lebih baik di Indonesia, maka wajah Papua harus dibersihkan dari duka, dendam, darah dan air mata. Apa lagi yang kita tunggu? Saatnya semua pihak yang pro perubahan, dan para politisi serta aktivis yang hendak mencalokan diri menjadi anggota legislatif dan presiden, memasukkan agenda ini ke dalam cakrawala pikiran dan program perjuangan mereka:
  • Membebaskan semua tahanan politik yang berada di penjara-penjara di Papua serta membuka kembali peluang upaya dialog damai dengan rakyat Papua.
  • Menjamin hak-hak tapol, napol terhadap akses kesehatan dan pelayanan hukum.

Jakarta, 2 April 2014

National Papua Solidarity (NAPAS)
Zely Ariane
Koordinator

Aksi NAPAS 16 Mei 2013 di depan istana negara


*Lihat update tahanan politik Papua bulan Februari 2014 di papuabehindbars.org

No comments:

Post a Comment

Popular Posts

Papua Press Agency