Jejak Kapitalisme Ekstraktif di Bumi Papua
Rubrik:
Laporan Khusus
Telah dicetak dan diterbitkan dalam Satu Papua Edisi 09/2014
Jakarta, 27 Mei 2011 Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono secara resmi meluncurkan Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Kabupaten
Timika Papua termasuk satu dari empat daerah yang dipusatkan bagi 17
proyek groundbreaking ini. Proyek yang dicanangkan
adalah proyek jalan raya Timika-Enarotali sepanjang 135 km dengan
investasi senilai Rp 600 miliar yang akan dilaksanakan oleh Pemprov
Papua dan Pemkab Merauke. Selain itu, juga dicanangkan proyek
pembangunan jalan raya dari Merauke-Waropko sepanjang 600 km yang
akan membutuhkan dana sebesar Rp 1,2 triliun.
Bagi
Papua, MP3EI adalah tahap berikut dari skema pengurasan sumber daya
alam. Momentum ini tidak terpisahkan dari kontrak jangka panjang
Indonesia dengan perusahaan tambang Freeport-McMoRan di Papua.
Disusul kemudian ratusan investasi yang memutilasi ruang bumi Papua
dalam konsesi-konsesi tambang, migas, perkebunan, industri kehutanan
dan proyek-proyek lainnya. Tidak ada yang memungkiri, berbagai
kejahatan kemanusian dan lingkungan turut terjadi sejak
perusahaan-perusahaan itu beroperasi.
Jejak
Kapitalisme Ekstraktif
Sejak operasi pertambangan Freeport-McMoRan tahun 1967 hingga saat
ini, Papua telah masuk dalam cengkraman kapitalisme ekstraktif yang
memberikan prioritas pada keamanan aliran energi, material dan
investasi (finance kapital) lebih utama ketimbang keselamatan alam
dan manusia lokal. Tata ruang di Papua kini penuh sesak dengan
konsesi-konsesi pertambangan dan migas yang dikenal memiliki daya
rusak besar pada secara permanen pada lingkungan.
Papua
juga menjadi incaran industri perkebunan skala besar baik yang
terkait atau tidak dengan MP3EI. Industri kehutanan (logging) juga
marak merambah segenap penjuru kawasan hutan di Papua. Data dinas
kehutanan untuk kegiatan pertambangan di Papua yang telah dizinkan 42
unit dengan total luas 96.563 Ha. Kementrian ESDM mengaku tidak
memiliki data dari izin usaha pertambangan (IUP) data yang
dikeluarkan pemerintah daerah. Saat ini ada 60 izin (Papua 26 izin
dan Papua Barat 34 Izin) meliputi luas Sekitar 961.372,39 hektar. Itu
belum termasuk izin baru dari kabupaten, Konsesi kontrak karya (KK),
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B) dan
Wilayah Kerja Migas.
Konsesi
kontrak karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKB2B) dan Wilayah Kerja Migas oleh pemerintah pusat masih
mendominasi peruntukan lahan di Papua. Peta ruang konsesi
pertambangan dan migas menjadi bukti masifnya konsolidasi lahan
untuk kepentingan industri keruk. Konsesi tambang yang notabene
dikeluarkan oleh pemerintah pusat menyisakan sedikit ruang bagi
daerah kabupaten. Di Kabupaten Tolikara Papua, hanya tersisa tidak
lebih 50% wilayah kelola daerah setelah dikurangi berbagai konsesi
tambang termasuk konsesi Freeport dan kawasan lindung kehutananan.
Tidak sedikit perseteruan berlanjut hingga proses gugatan pengadilan
atau para Bupati yang mbalelo
dengan mengeluarkan izin pertambangan di lokasi yang sama. Pada
akhirnya keputusan yang kental dengan praktik korup ini menjadi “bom
waktu” konflik dikemudian hari.
Kewenangan
besar kepala daerah kabupaten seringkali berbenturan dengan agenda
pemerintah pusat. Terjadi tumpang tindih peruntukan lahan hingga
konflik kepentingan atas penguasaan sumber daya alam yang makin
diperparah dengan praktik korupsi dan kolusi.
Di
lapangan perampasan paksa berlangsung secara kasat mata. Mega proyek
LNG Tangguh telah merampas 50 ha lahan marga Sowai di kampung Tanah
Merah lama. PT Freeport juga telah mengambil paksa tanah adat orang
Amungme.Tragedi kelaparan dan kematian massal warga di Distrik Kwoor
berhubungan dengan konflik konsesi pertambangan dan kerusakan
lingkungan di bagian hulu Kwoor, Kabupaten Tambrauw. Konflik konsesi
tambang antara PT. Akram Resources dan PT. Choice Plus Energi
Petroleum diduga telah menyebabkan kerusakan lingkungan di kawasan
cakar alam Tambrauw Utara juga di Suaka Marga Satwa Jamursbamedi.
Keselamatan
Papua
Agenda apitalisme ekstraktif telah menyusup dalam
agenda pemekaran dan otonomi khusus (otsus) Papua. Penanda dominasi
kapitalisme ekstraktif adalah monopoli ruang dan perburuan potensi
nilai uang yang dibisa dihasilkan hingga pengurasan bahan mentah.
Bagi daerah pemekaran atau kabupaten baru segera dapat dilihat dari
jumlah izin usaha pertambangan yang dikeluarkannya. Agenda pemekaran
juga dilatarbelakangi penguasaan sumber daya alam, bukan demi
keselamatan. Saat ini ada sekitar 50 usulan pemekaran kabupaten di
Papu , bahkan ada wacana pemekaran Papua Tengah, Papua Timur dan
Teluk Cenderawasih, sehingga menjadi tujuh provinsi.
Sementara
itu ekspor bahan mentah dari Papua terus meningkat. Pada November
2012 sebesar US$136.81 juta atau mengalami peningkatan 9,23 persen
dibandingkan Oktober 2012. Barang-barang yang diekspor pada bulan
November 2012 terdiri atas Bijih Tembaga & Konsentrat (HS26)
senilai US$130,31 juta; Kayu & Barang dari Kayu (HS44) senilai
US$6,49 juta; dan ekspor golongan non migas lainnya sebesar US$0,01
juta. Pada bulan November 2012 tidak ada ekspor Ikan & Hewan Air
Lainnya (HS03).
Otonomi
khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat seharusnya dapat
berbuat lebih untuk keselamatan Papua asalkan dijalankan berdasarkan
aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat. bukan menjdi perasan energi
dan material bagi negara lain. Bukan tidak mungkin, dengan
laju pengurasan begitu besar potensi dan kekayaan sumber daya alam
tinggal mitos belaka bagi generasi masa depan Papua.
Pada bagian
penghujung dari hiruk pikuk eksploitasi ruang dalam praktek
kapitalisme ekstraktif di Papua adalah jaminan layanan pasokan energi
dan material yang tidak dinikmati oleh warga Papua. Pasokan ini
dipastikan untuk melayani kepentingan negara-negara tertentu dan
pemerintah pusat. Sementara bagi warga Papua, menyempitnya ruang
hidup dan hilangnya layanan alam adalah krisis yang harus mereka
hadapi dimasa kini dan masa depan.
Tim Jaringan
Advokasi Tambang
No comments:
Post a Comment