Kekerasan Perempuan Papua dan Jalan Pembebasannya
Perlawanan Mama Mama pedagang pasar di Jayapura |
Rubrik:
Perempuan Papua
Telah dicetak dan diterbitkan dalam Satu Papua Edisi 09/2014
Perempuan
Papua adalah korban kekerasan ganda negara. Dalam lapis pertama
perempuan menjadi korban kekerasan seksual yang berupa perkosaan,
perbudakan seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, eksploitasi
seksual dan terkait penggunaan alat kontrasepsi (KB) serta percobaan
perkosaan. Dalam lapis kedua, perempuan mengalami kekerasan non
seksual seperti pembunuhan, percobaan pembunuhan/penembakan,
penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, pengungsian, perusakan dan
perampasan harta benda. Kekerasan yang dilakukan berbentuk fisik,
seksual dan psikologis yang dilakukan atau didukung oleh aparat
negara.
Kekerasan
oleh negara sudah terjadi sejak Perang Dunia Kedua, Pemerintah
Belanda dan aneksasi pemerintah Indonesia melalui operasi militer
sejak tahun 1961 hingga sekarang. Sejak tahun 1963-2009, negara telah
melakukan kekerasan terhadap 138 perempuan Papua dengan 52 kasus
perkosaan, 24 kasus pengungsian saat operasi militer dan kelaparan,
21 kasus penganiayaan, 18 kasus penahanan sewenang-wenang. Sisanya
mengalami penyiksaan, pembunuhan, perbudakan seksual dan penyiksaan
seksual. Sebanyak 133 perempuan mengaku mengalami kekerasan dari
militer, 20 kasus kekerasan dari polisi, 6 kasus kekerasan dari
militer dan polisi (gabungan) dan 5 kasus kekerasan dari aparat
negara lain. Sejak
tahun 1963-2004, berdasarkan nama operasi militer, telah terjadi
sedikitnya 24 Operasi Militer di Papua.
Perempuan
juga bisa ditangkap karena dituduh mengibarkan bendera Bintang Kejora
seperti yang dialami,
Mama Persila Yakadewa dan tiga perempuan lainnya pada tahun 1980.
Tahun
1994, Mama Yosepha Alomang dan Yuliana Magal ditangkap karena
membelikan pakaian dan jaring ikan untuk komandan Tentara Pembebasan
Nasional Papua Barat (TPN PB), Kelly Kwalik.
Kaum
perempuan juga menjadi sasaran kekerasan dalam demonstrasi damai. Mei
2005 Marike Kotouki ditikam di kepala dengan sangkur oleh seorang
anggota Brimob. Penangkapan dengan kekerasan juga menimpa Milka Siep,
Debora Penggu, Raga Kogoya dan penulis yang ditangkap polisi dalam
aksi damai menuntut “Bebaskan
Filep Karma dan Yusak Pakage Tanpa Syarat”
di Pengadilan Negeri Jayapura.
Mama-mama
Papua yang ulet berdagang diemperan pasar dan jalan juga menjadi
sasaran kekerasan penggusuran Satpol PP sepert kejadian di pasar
Ampera, Jayapura. Perempuan di wilayah adat Anim-Ha
(Merauke) juga harus tergusur dari tanahnya, dusun-dusun sagu, sungai
dan hewan buruan karena tanah adatnya dirampas oleh negara untuk
proyek raksasa MIFEE
(Merauke Integrated Food and Energy Estate).
Perempuan di wilayah adat Mamberamo-Tami
(Keerom, Jayapura) juga kehilangan tanah, dusun-dusun sagu serta
hutan sumber daging dan sayur genemo,
karena dirampas oleh negara dan disulap menjadi jutaan hektar lahan
kelapa sawit milik PT. PN (Perkebunan Negara) dan sekarang telah
menjadi milik PT. Sinar Mas.
Kekerasan
negara menjelaskan bahwa aparat keamanan, telah melakukan
tindakan-yang militeristik terhadap perempuan dan rakyat Papua.
Karena itu militerisme berkiat dengan kepentingan kaum perempuan
Papua. Negara juga telah melakukan kontrol atas tubuh perempuan,
mengeksploitasi perempuan secara gender dan ekonomi-politik. Karena
itu Patriarki juga menjadi musuh utama perempuan Papua. Kekerasan
negara juga membuktikan keterkaitan antara kekerasan di Papua dan
kepentingan negara kapitalis untuk mengeksploitasi rakyat Indonesia
dan Papua. Militer dan polisi pelaku kekerasan dididik dan dilatih
oleh negara-negara kapitalis. Persenjataan juga diproduksi oleh
industri kapitalis dan dikirim berdasarkan kerja sama dengan
pemerintah RI. Karena itu,perempuan Papua sangat berkepentingan untuk
juga menghubungkan perjuangannya dengan tuntutan anti Kapitalisme.
Perempuan
harus mencari jalan keluar dari penindasanya sebagai perjuangan
melawan penindasan yang lebih luas sebagai sebuah bangsa dan sebagai
sebuah kelas. Perempuan harus membangun organisasi perempuan yang
progresif dan militan untuk terus mendiskusikan, menganalisa dan
menyimpulkan persoalan-persoalan penindasan dan eksploitasi perempuan
secara ekonomi politik sebagai bagian dari pembebasan nasional Papua.
Kaum perempuan juga harus membangun solidaritas dengan gerakan
pembebasan perempuan di Papua, Indonesia dan Internasional.
Dalam
tubuh gerakan pembebasan nasional Papua juga harus memiliki
perspektif pembebasan perempuan. Perjuangan pembebasan nasional Papua
sejalan dengan perjuangan pembebasan perempuan Papua. Tidak
ada pembebasan nasional Papua tanpa pembebasan perempuan. Karena
pembebasan perempuan adalah syarat bagi pembebasan nasional Papua itu
sendiri.
Heni
Lani, Staf Divisi Kampanye NAPAS
No comments:
Post a Comment